Semangat Nasional di Tengah Arus Zaman Digital
Tradisi peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei telah bergulir sejak 1948. Pada kali pertama, ritual ini disebut Hari Kebangunan Nasional. Banyak yang menyebut penggagasnya adalah Bung Karno, meski ada pula yang mengatakan peringatan itu atas inisiatif Ki Hajar Dewantara. Yang pasti, acara peringatan 40 tahun "Kebangunan Nasional” itu digelar untuk kali pertama pada tanggal 20 Mei 1948 di Gedung Agung, Yogyakarya, istana kepresidenan Republik Indonesia ketika itu. Ki Hajar Dewantara didapuk sebagai ketua panitia penyelenggara acara akbar tersebut.
Acara peringatan hari bersejarah yang dikemudian hari disebut Hari Kebangkitan Nasional itu terus berlanjut, menjadi agenda ritual kenegaraan tahunan hingga kini. Sebagian kita tak ambil pusing mengapa milestone kebangkitan itu jatuh pada 20 Mei 1908 dengan mengacu hari lahir Boedi Oetomo. Sebagian yang lain menyoal, apakah pilihan hari itu sudah tepat?
Boleh jadi, Bung Karno dan Ki Hajar Dewantara merasa tidak perlu berbekal kajian akademis untuk menetapkan tanggal peringatan "Kebangunan Nasional" itu. Apalagi, Ki Hajar Dewantara, nama yang disandang Raden Mas Suwardi Suryaningrat sejak 1923, sempat terlibat dengan Boedi Oetomo (BO). Sebagai anak muda 19 tahun, Suwardi sempat menaruh harapan pada BO. Tapi, ia kemudian menarik diri karena menganggap BO tak cukup progresif. Ia memilih merapat ke Dokter Cipto Mangunkusumo, yang juga telah meniggalkan Boedi Oetomo, dan Douwes Dekker. Mereka membentuk Indische Partij, 6 September 1912.
Bagi RM Suwardi Suryaningrat, misi Indische Partij jauh lebih menarik. Seperti ditulis Akira Nagazumi dalam buku Bangkitnya Nasionalisme Indonesia (1989), Indische Partij bermaksud mengugah patriorisme rakyat Hindia Belanda, mempersatukan mereka atas dasar persamaan politik, membangun kemakmuran dalam suatu negara nasional yang merdeka. Bagi orang muda seperti Cipto dan Suwardi, BO terlalu lembek, priyayi-sentris, dan terlalu koperatif terhadap pemerintah kolonial. Misinya, seperti yang dihasilkan Kongres BO di Yogyakarta pada 1909, mereka anggap kabur, tak cukup jelas, karena hanya menyebut “untuk menggalang kerja sama dalam pegembangan negeri dan penduduk Jawa dan Madura secara harmonis”.
Meski berpotensi mengundang kontroversi, toh Bung Karno dan Ki Hajar Dewantara jalan terus. “Itu keputusan politik,” kata M. Taufiq Kiemas, menantu Bung Karno. Menurut suami mantan Presiden Megawati itu, Bung Karno perlu menciptakan momentum untuk meningkatkan kohesi di antara semua elemen anak bangsa. Maklum, saat itu Pemerintah RI menghadapi tekanan luar dan dalam.
Dari luar, Belanda melakukan tekanan politik dan militer. Pasca-clash II pada Juli 1947, kota-kota besar di Jawa dan Sumatera telah jatuh dalam kontrol militer Belanda. Ibu kota RI Yogyakarta terkepung, karena Surabaya, Semarang, Purwokerto, dan pesisir Utara Jawa Tengah telah pula dikuasai musuh. Pada saat yang sama, secara internal Pemerintah RI juga sedang menghadapi masalah. Timbul ketidakpuasan yang meluas atas hasil diplomasi oleh wakil-wakil pemerintah. Kekuatan politik terbelah, dan menyeret sebagaian kalangan militer. Belum lagi, kekuatan komunis yang diperkirakan akan menggunting dalam lipatan. “Bung Karno mengambil inisiatif untuk mengonsolidasikan kekuatan yang ada,” Taufiq Kiemas menambahkan.
Prakarsa pemerintah tak berhenti sampai 20 Mei 1948. Pekan Olah Raga Nasional (PON) I kemudian dibuka di Solo, 9 September 1948. Pesta olahraga selama tiga hari itu hanya mempertandingkan pencak silat, nomor-nomor atletik, dan lempar cakram --cabang yang ketika itu dianggap di luar atletik. Dengan segala keterbatasan, daerah-daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, mengirim atletnya. Tujuannya, masih terkait dengan usaha meningkatkan kohesi di kalangan anak bangsa, selain meperkuat legitimasi pemerintahan yang masih bau kencur itu.
Toh, Roesdy Hoesein, dokter lulusan Universitas Indonesia 1972 yang belakangan mendalami sejarah, tak keberatan dengan adanya unsur taktis dalam penetapan Hari Kebangkitan Nasional. Menurut Roesdy, orang bisa saja berdebat mengapa kelahiran BO yang dijadikan tonggak sejarah kebangkitan. Lepas dari karakter BO yang kooperatif, menurut Roesdy, organisasi yang diprakarsai mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA itu telah menjadi gerakan modern untuk mengangkat martabat semua anak bangsa. “Ia hadir sebagai hasil dari kesadaran kolektif,” katanya.
Memang, dalam perjalanannya, gebrakan Boedi Oetomo kurang gereget. Terkesan alon-alon waton klakon, terlalu hati-hati. Tak mengherankan bila para kader mudanya kemudian berpaling dan mulai hijrah ke kelompok baru yang dinilai lebih progresif. Di tingkat akar rumput jelas getaran Indische Partij, Muhammadiyah, dan Syarikat Islam lebih terasa. Sekolah-sekolah Muhammadiyah berdiri di pelbagai kota. Syarikat Islam, menurut Akira Nagazumi, berhasil menghimpun hampir setengah juta anggota di tahun 1917. Pada saat yang sama, anggota BO masih dalam kisaran ribuan orang saja.
Meski begitu, kata Roesdy Hoesein, tak berarti BO boleh dilupakan. Organisasi progresif tadi lahir kemudian adalah bentuk penyempurnaan. “Pendahulunya tetap Boedi Oetomo,” katanya. Kini, yang utama bukanlah menggugat BO dari aspek kesejarahannya, melainkan memaknai peringatan hari kebangkitan nasional itu sendiri. Sebab, kesadaran kolektif tentang spirit kebangsaan tetap diperlukan di tengah suasana globalisasi yang menghilangkan sekat-sekat kebangsaan. Acara peringatan hari kebangkitan nasional, masih kata Roesdy, hanyalah ritual untuk memelihara semangat kolektif kebangsaan tadi. Tentang bagaimana posisi historis 20 Mei itu sendiri, sudah begitu banyak buku yang mengulasnya, dan silakan masing-masing menarik kesimpulan.
Dengan maksud ikut menjaga kesadaran kolektif ini pula, Gatra menyiapkan edisi khusus bertema Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Edisi khusus ini terbagi dalam lima babak. Yang pertama menyangkut tentang bagaimana kesadaran kolektif membangun semangat kebangsaan itu lahir, tumbuh, dan berkembang untuk mengangkat martabat para anak bangsa itu sendiri. Kerja kolektif itu kemudian bermuara dalam sebuah format Keindonesiaan, dan puncaknya adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Babakan kedua, antara 1928-1945, diwarnai dengan sepak terjang pata tokoh bangsa yang memperjuangkan agar semangat pemuda 1928 itu bisa terwujud dalam wadah Indonesia merdeka yang berdaulat. Memang, akhinya kemerdekaan bangsa berhasil diraih. Namun, seperti digambarkan pada babak ketiga, kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan. Bangsa ini memerlukan konsolidasi lanjutan agar kemerdekaan itu memberikan peningkatan martabat bagi sekalian rakyat. Ini bukan soal mudah. Sejumlah kemajuan bisa dicatat, namun sejumlah persoalan masih membelit, utamanya menyangkut stabilitas politik negara. Era ini terjadi antara 1945 hingga 1970.
Memasuki era 1970-an, Indonesia menjadi daerah yang semakin hari semakin terbuka. Perlahan tapi pasti, bangsa ini harus berhadapan dengan bangsa lain dalam persaingan yang lebih terbuka di semua bidang. Kini bahkan kita telah memasuki era globalisasi. Tata nilai pergaulan dunia bergeser. Langkah-langkah adaptasi kadang membuat kita gamang seperti kehilangan pijakan. Spirit kebangkitan nasional, ketika zaman sudah bergerak memasuki babak baru yang oleh Bill Gates disebut era digital kedua, tampaknya masih relevan. Era digital bukan berarti era perjuangan yang serba individual. Kepada siapa orang-orang yang lemah dalam persaingan harus meminta perlindungan, kalau bukan kepada kaumnya sendiri.
Putut Trihusodo
[Pengantar, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 15 Mei 2008]
0 komentar:
Post a Comment