Tradisi Perayaan 40 Hari alias Malang Areh Bayi di Pamekasan
Dinaikkan Perahu Mini, Berharap Doa Undangan
Tradisi perayaan empat puluh hari atau malang areh bayi semakin sulit dijumpai. Selain sudah bergeser ke efesiensi, juga karena tergerus budaya modern. Namun, bagi warga Kecamatan Kadur tradisi malang areh tetap dilestarikan.
NADI MULYADI, Pamekasan
-----------
SEKILAS tidak ada yang istimewa saat koran ini berkunjung ke kediaman Adnan Kasogi, 55, di Desa Sokalelah, Kecamatan Kadur, kemarin sore. Selain tidak tampak pernak-pernik perayaan, hanya kerabat dekat terlihat kumpul di musalanya.
Tapi setelah Koran ini masuk ke ruang tamu bagian dalam, tampak remaja putra dan putri tampak sibuk menghias perahu mini. Ada juga dari mereka sedang merangkai bunga dengan seutas lidi dan tali.
Setelah azan Maghrib berkumandang, sejumlah warga berdatangan. Mereka yang datang langsung disediakan sebungkus makanan dan minuman yang terselip sebatang rokok.
"Ini acara perayaan malang areh cucu saya, sekaligus aqikahnya. Kami sengaja mengundang tetangga untuk turut mendoakan. Lagian cucu ini merupakan cucu laki pertama dari anak bungsu saya," kata Adnan.
Seperti kegiatan keagamaan dan seremonial pedesaan pada umumnya, setiap pembukaan acara dibuka dengan doa. Termasuk, saat ditutup juga dipungkasi dengan doa oleh tokoh agama setempat.
Sebelum acara berakhir, salawat Nabi mulai dikumandangkan dan para undangan mulai berdiri semua. Setelah itu, tiga remaja memasuki lokasi undangan yang berjumlah sekitar seratus orang tersebut.
Remaja paling depan tampak membawa perahu mini yang dilengkapi dengan lampu hias. Rupanya, perahu mini itu dijadikan wadah bayi yang sudah berumur 40 hari tersebut. Kemudian, bayi dibawa keliling menemui undangan untuk dimintakan doa.
Sedangkan remaja yang ada di urutan kedua, terlihat membawa beberapa bunga yang sudah dirajut dengan benang dan lidi. Bunga itu untuk diberikan ke undangan yang hadir. Itu sebagai belas kasih dan mengartikan kebaikan bagi sang anak.
Yang terakhir, pria dengan kopiah tinggi itu terlihat asyik menyemprotkan parfum pada undangan. Itu sebagai bagian dari sunnah dalam Islam dan juga berarti sang anak terhindar dari sifat buruk dan kotor.
Setelah salawat, sang bayi yang terlihat lelap tersebut di taruh di depan tokoh agama setempat hingga selesainya acara. Baru setelah selesai diambil oleh kedua orang tuanya. (*zid/fiq)
Sumber disini
1:58 AM | Label: Berita, Budaya dan Sastra, Indonesia, Madura | 0 Comments
Taufiq Ismail Bangun Rumah Puisi
JAKARTA, RABU - Hajatan majalah sastra Horison memperingati 55 tahun Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia, yang Rabu (14/5) kemarin ditandai dengan peluncuran empat buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, di Aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta, mendapat sambutan luas berbagai kalangan. Apalagi, hasil penjualan seluruh buku akan disumbangkan untuk pembangunan Rumah Puisi, yang digagas Taufiq Ismail.
"Taufik Ismail tak ingin memperingati usianya, tapi perbuatannya. Sebab hidup itu perbuatan. Dalam 100 tahun kebangkitan nasional, Taufiq Ismail sudah berkiprah dalam sastra Indonesia 55 tahun. Dia salah satu dari sedikit sekali sastrawan Indonesia yang menaruh perhatian serius pada masalah sosial dan politik tanah airnya," kata Penitia Pelaksana Taufiq Ismail 55 Tahun dalam Sastra Indonesia, Fadli Zon.
Taufiq Ismail adalah sastrawan terkemuka. Karya-karyanya berupa puisi, esai, cerita pendek, drama, dan laporan jurnalistik dengan tema yang sangat beragam, yang ditulis sejak 1953 sampai 2008, dibukukan secara lengkap 4 jilid dengan total halaman 2.996 halaman.
Buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008. Berisi puisi lengkap Taufiq Ismail yang ditulis sejak 1953-2008 (tebal buku xxxi + 1076 halaman). Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2: Himpunan Tulisan 1960-2008, berisi tulisan Taufiq berupa kolom, artikel, dan lain-lain di berbagai media (xxxiv + 881 halaman). Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3: Himpunan Tulisan 1960-2008, berisikan laporan perjalanan, obituari, pengantar buku, cerita pendek, drama (xxxii + 880 halaman). Dan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4: Himpunan Lirik Lagu 1972-2008, berisi lirik lagu Taufiq Ismail yang dinyanyikan oleh Grup Musik Bimbo, Ahmad Albar, Nicky Astria, Chrisye, Gita Gutawa, Arman Maulana, Duta, dan lain-lain (xx + 150 halaman).
Peluncuran buku ditandai dengan penyerahan buku oleh Jamal D Rahman dari Penerbit Majalah Sastra Horison kepada Taufiq Ismail. Kemudian sastrawan kelahiran Bukittinggi ini menyerahkan satu set buku ke berbagai kalangan, termasuk kepada generasi muda. Tak ada sambutan khusus dari Taufiq, kecuali pembacaan puisi karya-karyanya, yang dibacakan dengan atraktif, menarik, dan memukau oleh Imam Soleh.
Rencananya satu puisi, "Tukang Rambutan" , tapi tetamu minta tambah lagi. Akhirnya, dibacakan lagi puisi "Serba Sebelah" . Grup Musik Bimbo, juga menyanyikan khusus lima lagu yang liriknya ditulis Taufiq Ismail, yaitu " Dengan Puisi" , " Adakah Suara Cemara" , " Bermata tapi Tak Melihat" , " Lailatul Qadar" , dan diakhiri "Sajadah Panjang ". " Dari Bimbo, ada kado lain. Kotak Ajaib, yang menyimpan 100 lagu Bimbo, yang bisa didengar sewaktu-waktu Pak Taufiq rindu," kata Sam. Kado diserahkan anaknya, Nun.
Yang juga menarik sebelumnya, orasi budaya oleh Anies Baswedan, tentang Generasi Taufiq Ismail dan Transformasi Struktural Masyarakat. "Taufiq Ismail memang menembus batas bangsa-bangsa. Tapi nampaknya rumah Taufiq Ismail itu memang Indonesia.
Kepeduliannya kepada bangsa Indonesia melebihi deretan puisi-puisi yang pernah ditulisnya tentang bangsa lain. Bahkan, membaca lebih jauh tentang Taufiq Ismail dan puisi-puisinya, saya yakin bahwa dia selalu menhajak ke masa depan. Dia tengok masa lalu sesekali, kemudian dia paksa kita melongok masa depan," ujarnya.
Menurut Anies, yang baru-baru ini terpilih sebagai salah satu dari 100 tokoh intelektual dunia, potret perjalanan Taufiq Ismail adalah potret sebuah transformasi sosial di Indonesia. Ia sendiri merekam bacaannya atas Indonesia. Ia menjadi saksi permanen naik-turunnya denyut jantung bangsa.
Lewat kata-katanya yang cerdas, ia membukakan pikiran dan hati. Tentang Rumah Puisi, Taufiq Ismail mengatakan, gagasan itu tumbuh dari pengalaman kolektifnya bersama redaktur Horison dan sahabat-sahabat sastrawan dalam 10 program gerakan membawa sastra ke sekolah-sekolah, sejak 1998-2008.
"Rumah Puisi telah mulai pembangunannya, 20 Februari 2008, dengan modal pertama dari perolehan hadiah sastra Habibie Award 2007, sekitar Rp200 juta setelah dipotong pajak. Lokasinya di kaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang, di Nagari Aia Angek, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat. Lokasinya antara Kota Padangpanjang dan Kota Bukittinggi, yang dikelilingi keindahan alam yang menawan, " jelas Taufiq.
Dalam kesempatan itu, aktor dan sastrawan Ikranegara, menyerahkan secara simbolis koleksi buku-buku pribadinya selama 30 tahun untuk Rumah Puisi. " Pak Taufiq adalah salah satu orangtua saya ketika merantau ke Jakarta, selain Arifin C Noor. Untuk Rumah Puisi, yang dibangun untuk kemajuan anak bangsa, semua koleksi saya selama 30 tahun, akan saya serahkan. Penyerahan ensiklopedia ini hanya simbolis, " kata Ikranegara.
Sedangkan budayawan Emha Ainun Najib, membacakan doa-doa khusus untuk Taufiq Ismail, agar diberi berkah kesehatan, kesempatan untuk terus memberikan yang terbaik buat bangsa, untuk kemajuan anak bangsa.
Yurnaldi
Sumber KOMPAS.com
6:18 AM | Label: Berita, Budaya dan Sastra, Indonesia | 0 Comments
MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI
Taufik Ismail
Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini
Tampaklah olehku ratusan ribu desa,
Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan,
Peternakan, perikanan,
Di pedalaman, di pantai dan lautan,
Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca,
Kemarau dan banjir datang dan pergi
Dan tanah airku yang
Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis,
Terpincang-pincang dan sempoyongan.
Berjuta wajahmu tampak olehku
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini
Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu,
Garis-garis penderitaan berkepanjangan,
Dan aku malu,
Aku malu kepadamu.
Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan.
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani.
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi
Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum lagi jadi subjek
Berpulih-puluh tahun lamanya.
Aku malu.
Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan
Bulir-bulir indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan
Tetapi ketika sampai pada masalah penjualan
Kami orang kota
Yang menentapkan harga
Aku malu mengatakan
Ini adalah suatu bentuk penindasan
Dan aku tertegun menyaksikan
Gabah yang kalian bakar itu
Bau asapnya
Merebak ke seantero bangsa
Demikian siklus pengulangan dan pengulangan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Karbohidrat yang setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan
Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis-habisan
Dan mengacungkan tinju, setinggi awan
Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan
Antara swasembada dan tidak swasembada
Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras
Swasembada tidak swasembada
Menghentikan impor beras mengimpor beras
Bandul yang bingung berayun-ayun
Bandul yang bingung diayun-ayunkan
Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Aku malu
Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji-janji diumpankan
Tapi sekaligus ke arah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menonton dari kejauhan
DPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun dan presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lamban
Dan tak kudengar dari mulut kalian
Sepatah katapun diucapkan
Saudaraku,
Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek
Jangka waktunya pastilah lama
Tapi semuanya kita pulangkan
Kepada Tuhan
Ya Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kami
Amin.
Juli 2003
2:24 PM | Label: Budaya dan Sastra | 0 Comments