Lumpindo
Ariel Heryanto
Sering dikatakan perjuangan "reformasi" 1998 macet di tengah jalan. Dalam beberapa hal Indonesia tidak lebih baik dari zaman Orde Baru. Misalnya korupsi atau hak asasi.
Tapi skandal "Lumpur Lapindo" (singkatnya Lumpindo) menyadarkan kita ada perubahan besar di tanah air dalam 20 tahun belakangan. Perubahan ini berlangsung tanpa hiruk-pikuk demonstrasi mahasiswa dengan yel-yel seram.
Skandal di Jawa Timur itu mengingatkan kita pada skandal Kedungombo di Jawa Tengah 20 tahun sebelumnya. Keduanya kisah pilu ribuan warga negara yang kehilangan kampung halaman, mata pencaharian, dan harta benda karena tenggelam cairan. Dari segi penderitaan rakyat, memang tidak banyak bedanya.
Tapi ditinjau dari bentuk skandal dan pihak yang diuntungkan, ada perbedaan mencolok. Kedungombo merupakan proyek pejabat negara dengan dukungan dana dari lembaga finansial Bank Dunia. Lumpindo merupakan sebuah kecelakaan atau kecerobohan dari proyek sebuah badan komersial swasta yang dilindungi negara.
Di zaman Kedungombo, orang-orang berlomba menjadi pejabat negara dalam rangka menjadi kaya-raya. Birokrasi negara dan partai pemerintah bernama Golkar menjadi jalan menuju kemakmuran. Ini berlaku dari tingkat camat dan lurah hingga istana kepresidenan. Mirip negeri-negeri komunis.
Kini di zaman Lumpindo yang terjadi sebaliknya. Untuk menjadi pejabat tinggi negara, menguasai parlemen dan istana negara, orang harus terlebih dahulu menjadi pengusaha kaya-raya. Kini harta mampu membeli apa pun, termasuk keadilan. Indonesia semakin mirip negara-negara kapitalistik.
Ini sebuah penjungkir-balikan sejarah. Skandal seperti Kedungombo akan surut dan semakin sulit terulang. Sementara skandal Lumpindo mungkin sekali merupakan awal dari serangkaian panjang bencana nasional yang akan terulang di masa depan dengan lokasi dan bentuk berbeda. Kedungombo menjadi akhir kisah congkaknya kekuasaan negara. Lumpindo merupakan awal kisah ganasnya kezaliman pengusaha di tanah air.
Dalam skandal Kedungombo pejabat negara menggunakan kekuatan politik untuk membungkam para korban yang membangkang. Tentara dikerahkan untuk menggertak penduduk yang menolak diusir dari wilayah proyek. Presiden waktu itu menuduh para petani di Kedungombo merupakan sisa-sisa Komunis. Para pejabat kecamatan setempat mencap KTP warga yang mencoba bertahan dengan stempel "Eks Tapol" (ET).
Skandal Lumpindo lebih berbau anyirnya duit. Pengusaha menggunakan tawar-menawar ganti rugi finansial untuk membungkam para korban. Seakan-akan kerugian masyarakat Jawa Timur bisa diukur dan diganti dengan uang. Ganti rugi finansial itu pun tidak diberikan secara lancar dan utuh kepada para korban. Mereka itu dibiarkan seperti pengemis yang meminta-minta belas kasihan dari pihak yang paling bertanggung jawab atas derita masyarakat.
Pemerintah tidak diuntungkan oleh Lumpindo. Tetapi juga tidak punya nyali untuk menahan dan mengadili pucuk pimpinan perusahaan yang paling diuntungkan oleh proyek di Sidoarjo itu seandainya berjalan mulus. Sedemikian hebatnya kekuatan sang pengusaha, sampai-sampai ada peraturan presiden yang oleh banyak pihak dianggap menolong pihak pengusaha ketimbang ribuan rakyat yang dikorbankan.
Perubahan 20 tahun di Indonesia tidak hanya sebatas kasus-kasus bencana. Perubahan besar-besaran juga terjadi di masyarakat luas. Bandingkan tanggapan publik terhadap skandal Kedungombo 20 tahun lalu dengan sikap publik terhadap skandal Lumpindo hari-hari ini.
Segera setelah Kedungombo ditenggelamkan tahun 1989 sekelompok mahasiswa berbondong-bondong menuju Kedungombo. Mereka berdemonstrasi membela para warga. Secara konfrontatif mereka melabrak kantor Kodim di Boyolali dan menduduki kantor ini beberapa jam. Komandan Kodimnya melarikan diri. Inilah yang membawa kasus Kedungombo menjadi topik nasional dan internasional. Sekaligus kejadian itu menandai kebangkitan kembali gerakan politik mahasiswa antar-kota yang tiarap sejak 1978.
Sejak meledaknya Lumpindo tahun lalu, tidak ada arakan-arakan simpatisan menuju Sidoarjo, walau tidak ada hambatan dari pemerintah atau tentara seperti 20 tahun lalu. Tidak juga ada demonstrasi besar-besaran oleh kelompok aktivis di Jakarta untuk melabrak majikan utama perusahaan besar di balik kasus Lumpindo. Malahan sejumlah intelektual tidak malu-malu bergaul intim di muka publik dengan pengusaha tersebut.
Puluhan ribu warga Sidoarjo dibiarkan menderita tanpa dukungan besar-besaran dari publik. Kebalikan dari yang terjadi di Kedungombo 20 tahun lalu, ratusan korban Lumpindo melakukan perjalanan jauh ke Jakarta untuk mencari dukungan para politikus elite.
Dengan dukungan publik, perjuangan warga Kedungombo ada hasilnya. Bank Dunia merasa "malu" berada di belakang proyek waduk. Mereka mengambil langkah mundur. Perjuangan warga Sidoarjo lebih sulit. Bukan saja karena minimnya dukungan publik. Tapi juga karena yang dihadapi bukan orang asing yang punya rasa malu dan tahu diri.
Sumber : KOMPAS
8:21 AM
|
|
This entry was posted on 8:21 AM
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 komentar:
Post a Comment