Bukan Jalanan, Tuan Jusuf
Bukan Jalanan, Tuan Jusuf-- Surat Terbuka untuk Jusuf Kalla
"Seratus orang tanpa pendidikan adalah awal sebuah
pemberontakan. Satu orang dengan pendidikan adalah
awal sebuah gerakan!" Chico Mendez (1944-1988)
SENANG sekali membaca berita tentang bagaimana Anda,Tuan Jusuf, menerima beberapa perwakilan mahasiswa pada 2 Mei 2006 lalu di istana Anda (Media Indonesia,03/05). Tak banyak pejabat di negara ini yang melakukan hal semacam itu. Membukakan pintu dan lalu mengajak para demonstran berdialog. Dan Anda melakukannya dengan baik sekali. Demokratisasi mungkin memang perlu dimulai dari hal-hal kecil semacam membukakan pintu bagi para demonstran.
Para mahasiswa itu sebelumnya berunjuk rasa di jalanan depan istana Anda. Hari itu 2 Mei 2006. Seratus tujuh belas tahun sebelumnya Ki Hajar Dewantara lahir.Mungkin tak banyak di antara kita yang mengetahui bahwa Ki Hajar Dewantara adalah penerjemah lirik laguInternationale (sebuah mars kaum Marxisinternasional). Di Jakarta, beberapa hari sebelum ini,lagu itu kembali dikumandangkan sebagai pengantar jenazah Pak Pram. Kita, saya dan Anda Tuan Jusuf,tentu lebih mengenal Ki Hajar sebagai BapakPendidikan. Sesuatu yang barangkali tak ia sukai.Pernahkah Tuan Jusuf membaca surat Ki Hajar Dewantara kepada Gubernur Jenderal de Jonge, 26 Oktober 1932? KiHajar Dewantara menulis, "Gambar saya misalnya, takboleh dipajang di mana pun. Pertama, batin saya tak menghendaki penghormatan atas gambar saya. Darinya akan timbul dampak yang tidak baik. Kalau kalian mendewa-dewakan saya, habislah Taman Siswa sesudahsaya mati."
Bahkan, tahukah Tuan, Ki Hajar Dewantara pernah berwasiat agar keluarganya jangan sampai menulis biografi dirinya. "Tak akan jujur. Sepenuhnya subjektif," katanya.
Betapa kita mengenalnya sebagai seorang pintar nanrendah hati. Ah, Tuan Jusuf, berapa banyak lagi orang yang seperti Ki Hajar Dewantara di negara ini?
**
TAPI saya sedikit terganggu, Tuan Jusuf. Jawaban Anda kepada perwakilan mahasiswa yang menuntut agar pemerintah segera melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar, yakni menyediakan anggaran pendidikan sebesar20% dari APBN, terlalu membuat resah. Anda mungkin orang baik, Tuan. Tapi, pasti bukan bagi 69% dari203.456.005 penduduk Indonesia, angka statistik bagi mereka yang belum menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun ("Media Indonesia", 03/05).
Tuan Jusuf berkata bahwa pendidikan itu penting.Namun, "Kesehatan juga penting, jalan yang rusak juga penting diperbaiki" (Media Indonesia, 03/05). Dan TuanJusuf memilih untuk mendahulukan kesehatan dan perbaikan jalan. Tuan bahkan sampai bertanya, "Apakah kita rela anggaran kesehatan langsung dikurangi atau anggaran jalan langsung dikurangi?"
Menteri Pendidikan Nasional kita, Bambang Sudibyo,lebih membuat resah. Beliau bilang realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN diharapkan bisa terpenuhi pada 2009 nanti. 2009, Tuan Jusuf, itu tiga tahun lagi! Bayangkanlah, apa yang bisa kita peroleh tiga tahun ke depan ketika kita memberi pendidikan dasar bagi mereka 69% penduduk negeri ini sekarang?
**
TUAN Jusuf, sudahkah Tuan menyaksikan Burning Season?Itu sebuah film bagus yang mengangkat cerita ChicoMendez, seorang pejuang lingkungan Brasil yang begitu keras kepala. Sejak kecil ia hidup di hutan hujanAmazon, besar dan mencari nafkah sebagai penyadap karet. Chico Mendez, bersama penduduk yang terbiasa mencari nafkah di hutan hujan Amazon melawan pembuatan jalan yang hendak menembus hutan Amazon (dan ia mati karena perjuangannya ini).
Chico Mendez, sebagaimana juga banyak orang lainnya,di Brasil atau di Indonesia, tahu belaka: acapkali perbaikan dan pembuatan jalanan dilakukan guna kepentingan modal.
Pembuatan jalanan memang baik. Transformasi dantransportasi lebih memungkinkan. Tapi terkadang kita memang melihat ini: pembuatan jalan tak lebih dari sekadar pembentukan infrastruktur demi, sekali lagi,kepentingan akumulasi modal.
Bukankah begitu, Tuan? Jalanan yang bagus tentu akan membuat barang-barang hasil produksi di pabrik-pabrik--yang buruh-buruhnya bekerja dengan ancaman revisiUndang-Undang Ketenagakerjaan-- akan lebih cepat terdistribusikan. Jalanan yang mulus dan menjangkau penjuru pedalaman akan lebih membuat "modern" mereka yang selama ini tak tersentuh riuh modal. Dengan adanya jalanan, mungkin mereka tak perlu lagi selamanya mengenakan pakaian khas mereka yang unik itu. Tapi mereka bisa mencoba tekstil-tekstil Cina yang berkualitas bagus dan berharga murah.
Dengan begitu, Tuan mungkin bisa mengatakan bahwa perekonomian Indonesia mengindikasikan kemajuan yang menggembirakan. Produksi meningkat, distribusi meluas,dan konsumsi melonjak.
Tapi Tuan, apa artinya itu jika 69% penduduk kita tak selesai pendidikan wajib sembilan tahun? Apa artinya itu jika guru mesti memilah waktu antara memeriksa hasil ujian siswa dan mengasapi dapurnya? Apa artinya itu jika, sebut saja peristiwa setahun lalu, begitu banyak siswa sekolah menengah kita tak lulus ujian nasional?
Lagi pula, tentu Tuan Jusuf masih ingat ucapan TuanJusuf setahun lalu ketika menanggapi tingginya angkaketidak lulusan peserta UAN. Tuan katakan, "Sejak dulu kualitas pendidikan kita rendah." (Pontianak Post, 2Juli 2005).
Lalu apa artinya jalanan yang hendak Tuan perbaiki itu jika kualitas pendidikan bangsa ini terus rendah?
Tuan Jusuf, lihatlah Kuba. Di saat kita masih bermasalah dengan pendidikan wajib sembilan tahun,pada tahun 2000 Kuba telah mencanangkan gerakan"University for All". Mereka hendak mencapai, "anation becomes a university".
Apakah mereka mengurangi anggaran kesehatan? Coba tengok, angka kematian dini di Kuba hanya 5,8 kematian untuk 1000 kelahiran dalam satu tahun. Angka yang rendah bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi diAmerika Serikat. Jumlah dokter per kapita mereka juga jauh lebih banyak jika dibandingkan negara manapun.Sebuah indikasi yang menggambarkan bahwa mereka juga tidak melupakan sektor kesehatan (Coen Husain Pontoh,2006)
Saya takut, Tuan Jusuf, bahwa ketidak siapan pemerintah untuk memenuhi tuntutan konstitusional anggaran pendidikan 20% dari APBN bukan lantaran hal-hal semacam perbaikan kesejahteraan umum atau pembangunan infrastuktur-infrastruktur perekonomian bangsa ini.Tapi karena kita selama ini ternyata telah salah meletakkan posisi pendidikan.
Kita telah terbiasa untuk tak perlu resah saat mengetahui ada sekira12% penduduk kita yang buta huruf. Kita telah terbiasa untuk tak terlalu khawatir dengan fakta bahwa 45% gedung sekolah di Indonesia rusak (Republika, 25 April 2006).
Kita merasa lebih mementingkan terbentangnya jalanan ketimbang memugar gedung-gedung sekolah, memerhatikan kesejahteraan guru, menekan biaya pendidikan,meningkatkan standar kelulusan sekaligus angka siswa yang lulus, membuat lebih banyak lagi rakyat Indonesia membaca, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Ya, kita mungkin memang terbiasa seperti itu. SepertiTuan Jusuf katakan di Pondok Pesantren DarussalamGontor, bulan April lalu, nilai pendidikan tak tergantung pada fasilitas. Tuan bilang, "Yang pasti kecerdasan tak bisa dibeli. Kepandaian tak bisa dibayar, yang bisa dibeli hanya fasilitasnya. Namun selama tak ada niat dari guru-gurunya dan pengelolanya tak ada hasilnya."
Semoga Tuan Jusuf sehat selalu.***
www.hitam-merah.blogspot.com
yang utama ialah hidup,
sekalipun hidup melarat kejahatan memalukan,
bukan kemiskinan (multatuli, max havelaar)
6:53 PM
|
|
This entry was posted on 6:53 PM
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 komentar:
Post a Comment